Ocit Abdurrosyid Siddiq
Pegiat Demokrasi dan Pemilu
LINTASCAKRAWALANEWS.COM, Pada Pemilu 2024 untuk memilih calon Presiden dan Wakil Presiden, Anies Baswedan maju sebagai calon Presiden, berpasangan dengan Muhaimin Iskandar, sebagai calon Wakil Presiden, yang adalah Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa atau PKB.
Selain pasangan ini, Pemilu 2024 juga diikuti oleh pasangan Prabowo-Gibran dan Ganjar-Mahfud. Pemilu 2024 dimenangkan oleh pasangan Prabowo-Gibran dengan perolehan suara telak. Lebih dari 50% perolehan suara.
Anies yang sejak lama digadang-gadang oleh para pendukungnya sebagai calon pemimpin Indonesia berikutnya pengganti Jokowi, gagal memenuhi harapan. Wajar bila dirinya dan para pendukungnya kecewa. Wujud kecewa itu diekspresikan dengan tuduhan adanya kecurangan.
Dugaan adanya kecurangan ini dibawa ke meja Mahkamah Konstitusi atau MK. Anies dan pendukungnya membawa seabrek bukti. Sayang, MK tidak mengabulkan permohonannya. Sekali lagi, walau akhirnya bisa menerima, Anies dan pendukungnya kembali merasa kecewa.
Pasca Pemilu 2024 usai, agenda berikutnya adalah Pilkada yang digelar secara serentak untuk memilih calon kepala daerah, baik calon Gubernur, Bupati, juga Walikota. Seluruh daerah menggelar Pilkada, termasuk Jakarta.
Sebagai cara untuk menjaga dan merawat kontinuitas Anies di ruang publik, para pendukungnya merencanakan untuk kembali mengusung Anies pada pemilihan calon Gubernur Jakarta. Pada periode sebelumnya, Anies pernah menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Sebetulnya, niat untuk mengusung Anies sebagai calon Gubernur Jakarta pada Pilkada 2024 ini merupakan langkah “mendegradasi dirinya”. Mengapa demikian? Karena Anies itu kelasnya adalah Presiden RI. Kelasnya nasional, pemimpin sebuah negara, bukan kelas Gubernur lagi, yang hanya memimpin level lokal.
Karena _“bila engkau tidak bisa melakukan seluruhnya, maka jangan tinggalkan seluruhnya”,_ maka tak ada rotan akar pun jadi. Tak jadi Presiden pun tak soal. Mundur teratur dengan menurunkan kasta menjadi calon Gubernur pun dilakoni sebagai langkah ancang-ancang menuju target berikutnya.
Asumsinya, dengan menjadi Gubernur Jakarta kembali, maka kesempatan untuk selalu tampil di ruang publik menjadi sangat terbuka. Ingatan publik atasnya akan senantiasa terawat sebagai modal baginya untuk kembali maju sebagai calon Presiden RI pada Pemilu berikutnya.
Sayangnya, regulasi yang mengatur ambang batas minimal bagi partai politik untuk bisa mengusung pasangan calon kepala daerah sangat tinggi. Karenanya berat. Partai-partai politik tidak bisa sendirian dan karenanya mesti berkoalisi untuk mencukupi syarat tersebut.
Sementara di sisi lain, partai-partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju atau KIM yang mengusung pasangan Prabowo-Gibran pada Pemilu 2024 yang notabene rival politik Anies, tersirat ingin “membabat habis” karier politiknya, dengan tidak memberikan kesempatan kepadanya untuk bisa maju sebagai calon Gubernur Jakarta.
Jangankan partai-partai politik yang tergabung dalam KIM. Bahkan PKS yang selama ini selalu bersama dengan Anies, merapat ke KIM untuk menambah kekuatan pasangan calon yang diusung oleh koalisi KIM Plus ini yang mengusung Ridwan Kamil-Suswono sebagai pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta.
Bila pun akhirnya MK memutuskan untuk menurunkan ambang batas syarat pengusungan pasangan calon kepala daerah yang memungkinkan partai-partai politik bisa mengusung pasangan calon tanpa berkoalisi, hanya PDIP yang kemudian mendapat berkah dari keputusan itu dengan mengusung Pramono Anung dan Rano Karno.
Walau putusan MK memungkinkan PKS bisa mengusung pasangan calon tanpa koalisi, PKS sendiri sudah berkomitmen untuk tetap bersama dalam KIM Plus. Begitu pula dengan Partai Nasdem dan PKB, partai politik yang menjadi tandem PKS saat mengusung Anies pada Pemilu 2024. Mereka secara berjamaah kompak meninggalkan Anies.
Akibatnya, Anies tidak bisa maju sebagai calon Gubernur Jakarta. Tidak ada partai politik yang mau mengusungnya. Sementara alternatif lain untuk maju sebagai calon Gubernur dari jalur perseorangan, waktunya sudah lewat. Dari jalur perseorangan sudah dimanfaatkan oleh pasangan Dharma Pongrekun-Kun Wardana.
Untuk ketiga kalinya Anies dan para pendukungnya kembali kecewa. Kecewa karena tidak terpilih sebagai Presiden RI, kecewa karena permohonannya tidak dikabulkan di MK, dan kecewa ketika tidak bisa maju kembali sebagai calon Gubernur Jakarta.
Akumulasi kekecewaan itu, oleh para pendukungnya diekspresikan dalam bentuk niatan mereka untuk “merusak” pesta demokrasi dalam Pilkada serentak ini dengan membuat aksi yang mereka beri nama Gerakan Coblos Semua.
Gerakan Coblos Semua itu dengan menginstruksikan para pemilih dan pendukung Anies di Jakarta pada saat hari pemungutan suara nanti untuk memilih calon Gubernur Jakarta, memilih dengan cara mencoblos semua calon, Emil, Pramono, dan Dharma.
Dengan begitu maka surat suara tidak sah. Dengan banyaknya surat suara yang tidak sah, maka legitimasi Pilkada menjadi berkurang. Sekaligus sebagai bentuk pembuktian perlawanan Anies, dan menunjukkan bahwa masih banyak warga Jakarta yang menjadi pendukung Anies.
Gerakan untuk mencoblos tiga pasangan calon di Pilkada Jakarta yang belakangan ini semakin mencuat, menurut para penggagasnya merupakan upaya untuk melawan keputusan elite politik yang tidak sesuai dengan keinginan masyarakat. Ajakan untuk mencoblos seluruh pasangan calon ini kemudian beredar dan menyebar. Termasuk di beberapa group WhatsApp.
_“Gerakan coblos semua tak bisa dipandang hanya dari kacamata sah atau tidak sahnya Pemilu. Tapi harus dilihat sebagai sebuah gerakan yang melawan keputusan elite yang dianggap tidak aspiratif. Tidak sesuai dengan apa yang menjadi preferensi warga terkait pemilihan kepala daerah”,_ demikian statement Sahrin Hamid, juru bicara Anies.
Komisi Pemilihan Umum atau KPU sendiri merespon dengan tegas niatan dan rencana tersebut. Menurut anggota KPU DKI Astri Megatari, _“Memilih itu kan sebenarnya hak masing-masing warga. Apakah memilih atau tidak. Namun jika kita mengajak masyarakat untuk tidak memilih itu bisa dipidanakan”,_ demikian menurutnya.
Astri mengingatkan bahwa oknum yang sengaja mengajak pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya justru bisa dikenai sanksi pidana. Tersirat, menurut KPU bahwa gerakan mencoblos seluruh calon dalam surat suara merupakan ajakan untuk tidak menggunakan hak pilih. Dan itu bisa kena delik pidana.
Gerakan Coblos Semua yang digagas oleh para pendukung Anies ini bisa dipastikan diketahui bahkan diamini oleh Anies. Bila hal ini benar, sejatinya bakal menjadi bumerang bagi Anies sendiri. Dan itu akan merugikan dirinya untuk kepentingan jangka panjang.
Anies sudah menyampaikan rencana, bahwa dalam rangka mengakomodir kepentingan politiknya, dia akan membuat organisasi kemasyarakatan yang dalam jangka panjang akan bermetamorfosis menjadi partai politik. Mungkin terinspirasi oleh Surya Paloh ketika sebelum berubah menjadi partai politik, Nasdem merupakan ormas dengan jargon restorasinya.
Merasa kecewa karena beberapa kali dihadapkan pada situasi yang tidak diharapkan, suka atau tidak mesti diterima. Tapi bila rasa kecewa itu kemudian diartikulasikan dengan merusak pesta demokrasi dengan cara mencoblos semua pasangan calon, selain bisa berdampak pada delik pidana, juga menunjukkan cara politik yang sangat tidak dewasa, apalagi matang.
Karenanya, sebaiknya Anies segera turun-tangan untuk menghentikan narasi yang malah bisa merugikan dirinya ini. Jangan sampai langkah bablas yang diambil karena didorong oleh emosi dan rasa kecewa ini, malah menjadi tulah baginya pada saat menghadapi Pemilu 2029 nanti.
Saran lainnya, daripada membentuk ormas dan parpol baru, yang pastinya menghajatkan sumber daya yang tidak sedikit, terutama dalam hal pembiayaan, mengapa tidak bergabung dengan partai politik yang sudah ada, dan sudah memiliki perangkat dan jaringan dari tingkat pusat hingga tingkat terbawah?
Kalau Anies sadar bahwa dirinya memiliki daya tarik begitu besar, bahkan merasa lebih besar dibanding partai politik itu sendiri, mengapa harus dari nol untuk membangun perangkat dan jaringan? Tapi Surya Paloh juga bisa. Iya itu Surya Paloh, yang memiliki sumber daya besar, kuat, tangguh, dan berlimpah.
Daripada membuat ormas atau parpol baru, sebaiknya gabung saja dengan parpol yang sudah ada. Pengalaman membuktikan, sebesar apapun ketokohan, merasa tokoh, atau ditokohkan, bila merintis dari awal banyak yang gagal. Contohnya Amien Rais dengan Partai Ummatnya.
Bila Anies identik dengan kelompok Islam, kebetulan tuh ada PPP. Partai lama yang identik dengan Islam sejak zaman Orde Baru yang tidak lolos ambang batas di DPR RI pada Pemilu 2024, yang sampai kini masih dipimpin oleh pelaksana tugas Ketua Umum. Selamatkan PPP. Jadikan PPP kembali sebagai _“Rumah Besar Umat Islam”._
Saya yakin, PPP akan welcome bila Anies mau bergabung. Mereka bisa saja menempatkan dia pada posisi paling strategis. Tapi sebaliknya, saya tidak yakin dia mau. Mengapa? Karena tabiatnya begitu; merasa dirinya lebih besar dibanding partai politik. Karena faktor itulah, PKS pun meninggalkannya pada perhelatan Pilkada Jakarta ini!
***
Tangerang, 15 September 2024
_Penulis adalah Ketua Forum Diskusi dan Kajian Liberal Banten Society (Fordiska Libas)_