Serangan Fajar Bisa Menurunkan Partisipasi Pemilih Ocit Abdurrosyid Siddiq Pegiat Demokrasi dan Pemilu

LINTASCAKRAWALANEWS.COM, || Hari pemungutan dan penghitungan Pilkada Serentak 2024 di tingkat Tempat Pemungutan Suara atau TPS telah selesai. Untuk sementara, hasilnya sudah bisa kita ketahui dari penghitungan dengan cara cepat atau quick count yang dilakukan oleh lembaga-lembaga survey.

Sementara hasil akhir dan resmi akan kita ketahui setelah Komisi Pemilihan Umum melakukan rekapitulasi penghitungan suara secara berjenjang. Hasil penghitungan suara di tiap TPS akan direkap di tingkat PPK atau Kecamatan.

Bacaan Lainnya

Hasil penghitungan suara tiap kecamatan kemudian direkap di tingkat Kabupaten atau Kota. KPU Kabupaten dan Kota menetapkan perolehan suara secara resmi. Penetapan perolehan suara tingkat Kabupaten dan Kota inilah yang menjadi ketentuan siapa yang bakal dilantik sebagai Bupati atau Walikota beserta Wakilnya.

Sementara untuk penetapan nama Gubernur dan Wakilnya yang terpilih, perolehan suara dari masing-masing Kabupaten dan Kota, direkap dalam rapat pleno KPU tingkat Provinsi. KPU Provinsi menetapkan jumlah perolehan suara. Barulah akan didapat secara resmi siapa nama yang sah dan berhak dilantik sebagai Gubernur dan Wakilnya.

Berdasarkan hasil penghitungan suara dengan cara cepat pada Pilkada Serentak 2024 ini, untuk Pilgub Banten dimenangkan oleh pasangan Andra Soni-Dimyati Natakusumah, Kota Serang Budi-Agis, Kota Cilegon Robinsar-Fajar, Kota Tangerang Sachrudin-Maryono, Kota Tangerang Selatan Benyamin-Pilar, Kabupaten Tangerang Maesyal-Intan, Kabupaten Serang Zakiyah-Najib, Kabupaten Pandeglang Dewi-Iing, dan Kabupaten Lebak Hasbi-Amir.

Pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara di seluruh TPS di wilayah Banten relatif berjalan dengan tertib, baik, dan lancar. Nyaris tidak ada insiden yang mewarnai jalannya pemungutan dan penghitungan suara. Kondisi cuaca pun cukup mendukung.

Walau pada sore hari turun hujan cukup deras dan merata. Untungnya saat hujan turun, seluruh KPPS telah selesai melakukan penghitungan. Semoga saja turunnya hujan sebagai penanda restu alam untuk meredam dan mendinginkan tensi politik yang sempat memanas ketika kampanye dan saat masa tenang.

Lha, emang saat masa tenang tensi politik masih tinggi? Bukankah masa tenang itu dimaksudkan agar kondisi menjadi tenang? Tenang dari aktivitas kampanye, tenang dari hiruk pikuk, sehingga masa tenang menjadi pra kondisi sebelum hari H pemungutan dan penghitungan suara.

Dalam tahapan Pilkada -sama halnya dengan Pemilu- ada masa tenang selama 3 hari menjelang hari pencoblosan. Pada tahap ini, tidak boleh ada aktivitas kampanye, dilarang memasang alat peraga kampanye. Bahkan alat peraga kampanye yang telah terpasang mesti ditertibkan atau dibersihkan dari ruang publik.

Masa tenang bisa dijadikan oleh masing-masing pasangan calon bersama tim untuk mengevaluasi seluruh rangkaian aktivitas kampanye sebelumnya. Bagi masyarakat khususnya calon pemilih, masa tenang bisa dipakai untuk menenangkan diri, semedi, atau istikharah, memohon petunjuk Tuhan agar membimbingnya untuk bisa memilih dan menjatuhkan pilihan dengan benar.

Sementara penyelenggara Pilkada, yaitu KPU beserta jajarannya mulai dari PPK, PPS, dan KPPS, pada masa tenang ini malah membuat mereka menjadi sibuk karena mesti mempersiapkan logistik dan lokasi Tempat Pemungutan Suara. Termasuk mengirimkan surat pemberitahuan atau undangan memilih kepada para pemilih untuk mencoblos di waktu dan lokasi yang telah ditentukan.

Sementara Bawaslu beserta jajarannya, yaitu Panwascam, PKD, PTPS, di masa tenang ini juga dibuat sibuk dengan aktivitas pengawasan yang lebih intens sehubungan dengan masa tenang ini menjadi waktu yang rawan atas potensi munculnya praktik poltik uang dalam bentuk serangan fajar.

Istilah serangan fajar ini merujuk pada adanya aksi pembagian uang -biasanya dalam amplop dan jarang dalam bentuk barang- yang dilakukan oleh tim pasangan calon Kepala Daerah kepada para calon pemilih, yang dilakukan pada saat fajar. Fajar itu waktu ketika matahari terbit.

Asumsinya, di hari pencoblosan itu, para pemilih akan berbondong-bondong berangkat ke TPS untuk menjatuhkan pilihannya. Untuk memengaruhi pilihan mereka, maka sebelum mereka berangkat ke TPS, diberikan bekal berupa uang yang diserahkan kala fajar tersebut.

Dalam praktiknya, ulah serangan fajar ini tidak hanya dilakukan ketika fajar terbit. Tetapi dilakukan juga dalam waktu lain, tanpa mengenal waktu. Seperti ketika tengah siang, kala senja, jelang maghrib, bahkan tengah malam. Kapan pun pemberian itu dilakukan, namanya tetap serangan fajar.

Serangan fajar ini bagian dari bentuk politik uang. Penggunaan politik uang dalam Pemilu dan Pilkada merupakan tindak pidana. Bagi pelaku politik uang -apakah pemberi atau penerima- bisa dikenakan pidana Pemilu dan Pilkada. Andai terbukti, bisa meringkuk dalam penjara.

Serangan fajar merupakan cara tidak jantan dalam mengikuti kontestasi. Karena kontestasi yang sehat dan sportif itu dengan cara adu ide, gagasan, pemikiran, serta program, yang disertai integritas, kompetensi, dan kapabilitas sang calon. Bukan dengan cara memengaruhi pilihan pemilih dengan uang.

Tidak bisa dipungkiri, dalam setiap perhelatan pesta demokrasi di Indonesia, kerap kali diwarnai dengan ulah serangan fajar. Saking terbiasanya serangan fajar yang seakan-akan masuk dalam tahapan tidak resmi, ulah ini menjadi semacam banalitas dan menjadi biasa dan kaprah.

Praktik ini sejatinya bukan semata karena faktor syahwat politik sang calon yang ingin memenangkan kontestasi dengan berbagai cara, termasuk cara yang terlarang. Tetapi serangan fajar juga terjadi akibat sikap permisif dari kalangan berpengetahuan, serta sikap pragmatis dari sebagian para pemilih itu sendiri.

Dengan asumsi setiap tim pasangan calon melakukan aksi serangan fajar, maka diharapkan para pemilih berbondong-bondong datang ke TPS untuk memilih nama calon sesuai dengan pesanan. Dalam konteks ini, serangan fajar bisa meningkatkan partisipasi pemilik suara untuk menggunakan haknya.

Namun ternyata dalam praktiknya serangan fajar ini malah bisa menjadi bumerang. Alih-alih mendorong para pemilih untuk datang ke TPS, malah bisa jadi dalih atau alasan bagi seseorang untuk tidak menggunakan hak pilihnya.

Dalam konteks tersebut, seseorang tidak menggunakan hak pilihnya karena gerakan serangan fajar dilakukan secara tidak merata. Tidak diberikan kepada seluruh pemilih. Ada yang tidak kebagian. Ada yang tidak menerima.

Hal ini bisa jadi karena keterbatasan atau ketersediaan dana. Atau karena tim pemenangan sudah tahu bahwa seseorang yang tidak dijadikan target serangan fajar, merupakan “orang lain”. Bukan “orang kita”. Orang yang dianggap tidak akan mengubah pilihannya walau diberi uang.

Padahal logikanya, pendukung, pengusung, apalagi loyalis, adalah orang-orang yang tanpa diberi uang pun, mereka akan memilihnya. Karenanya, bila pun serangan fajar dilakukan, maka yang strategis adalah menyasar orang yang masih mengambang dan belum menentukan pilihannya. Kesannya jadi mengajari ya, hehe..

Kelompok pemilih yang pragmatis dan tidak mendapatkan serangan fajar inilah yang kemudian berpotensi untuk tidak menggunakan hak pilihnya. Mereka merajuk, ngambek, pundung. Dalihnya, “Yang lain mah wajar mau datang ke TPS karena dapat serangan fajar. Karena saya mah tidak dapat, ngapain juga ke TPS”.

Jadi, serangan fajar yang adalah bentuk lain dari politik uang yang dilarang dalam Pilkada dan Pemilu, dan pelakunya bisa dikenakan delik pidana dan andai terbukti bisa meringkuk dalam penjara, juga bisa menurunkan partisipasi pemilih dalam menggunakan hak pilihnya, manakala itu dilakukan secara tidak merata.

Apakah dengan begitu Penulis menyarankan bahwa bila akan melakukan serangan fajar, dan karenanya menyebabkan partisipasi pemilih menjadi tinggi, maka lakukanlah serangan fajar secara merata dan menyeluruh? Pastinya itu adalah selain logika yang salah, juga sesat dan menyesatkan.

Bagi Penulis, politik uang dalam bentuk serangan fajar adalah cara pecundang memenangkan persaingan. Karena seseorang terpilih menjadi pemimpin itu, bukan diukur dari seberapa banyaknya isi tas. Tapi karena kompetensi, integritas, kapasitas, dan kapabilitas. Wallaahualam.
***

Tangerang, Kamis, 28 November 2024
_Penulis adalah Ketua Forum Diskusi dan Kajian Liberal Banten Society (Fordiska Libas), Pengurus ICMI Orwil Banten, Aumni Prodi Filsafat IAIN SGD Bandung (Red)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *