Ocit Abdurrosyid Siddiq
Penulis adalah Pegiat Demokrasi dan Pemilu
LINTASCAKRAWALANEWS.COM | Pasca pelantikan anggota Panitia Pemilihan tingkat Kecamatan atau PPK untuk Pilkada 2024, yang dilakukan secara serentak oleh Komisi Pemilihan Umum atau KPU Kabupaten dan Kota, di salah satu daerah muncul informasi yang menyebutkan bahwa ada intervensi dari oknum anggota DPRD setempat dalam perekrutan calon PPK.
Selain itu, juga muncul dugaan adanya pemberian sejumlah uang dari calon anggota DPR RI dan atau DPRD kepada penyelenggara, yaitu sebagian anggota KPU Kabupaten tertentu, dan beberapa anggota PPK di kecamatan tertentu pada Pemilu 2024, dengan maksud untuk pemenangan bagi calon anggota DPR RI dan atau DPRD tersebut.
Masih ada informasi dan cerita lain -yang bisa jadi benar tetapi mungkin juga salah- yang senada dengan dua informasi diatas. Praktik ini menunjukkan bahwa penyelenggara yang nakal memanfaatkan posisinya yang seksi untuk meraup keuntungan berupa penghasilan diluar uang kehormatan atau honorarium yang resmi dan sah mereka terima setiap bulan.
Penyelenggara Pemilu dan Pilkada itu mesti netral. Mereka tidak boleh terikat kepada kepentingan kelompok tertentu. Bila ada intervensi dalam bentuk rekomendasi dari pihak tertentu kepada KPU untuk meloloskan calon peserta tertentu, maka dikhawatirkan akan melahirkan penyelenggara yang tidak netral.
Pemberian sejumlah uang dari seseorang atau pihak lain kepada penyelenggara dengan maksud untuk pemenangan pencalonan anggota DPR RI dan atau DPRD juga DPD, bisa masuk kategori gratifikasi dan atau suap. Bila praktik ini terbukti, maka yang bersangkutan baik pemberi maupun penerima, mesti diproses sebagaimana ketentuan yang berlaku.
Menjadi penyelenggara Pemilu dan Pilkada itu seksi dan strategis. Dia akan menjadi buruan banyak orang, mulai dari peserta Pemilu dan Pilkada, partai politik, tim kampanye, calon anggota DPRD, DPR RI, DPD, calon Kepala Daerah, pemerintah, hingga masyarakat umum. Keberadaannya sangat dibutuhkan oleh banyak pihak.
Dengan kewenangan yang dimiliki, penyelenggara Pemilu dan Pilkada, baik KPU dan jajarannya dan Bawaslu beserta jajarannya, punya akses untuk memungkinkan seseorang -misalnya calon anggota DPRD- dimenangkan dalam kontestasi pesta demokrasi. Pastinya, cara diluar yang seharusnya sebagaimana aturan itu adalah sebuah pelanggaran.
Cara klasik yang biasa dilakukan untuk kepentingan dimaksud misalnya dengan penambahan jumlah perolehan suara, dengan mengalihkan atau memindahkan perolehan suara partai tertentu kepada partai lain, atau dengan cara memindahkan perolehan suara partai politik menjadi perolehan suara calon anggota DPRD. Bahkan, memindahkan perolehan suara calon DPRD dari partai yang sama.
Celah untuk melakukan cara curang ini bisa terjadi pada saat penghitungan suara di Tempat Pemungutan Suara atau TPS oleh Kelompok Pemungutan dan Penghitungan Suara atau KPPS. Cara yang sama juga memungkinkan terjadi di level kecamatan pada saat rapat pleno rekapitulasi yang digelar oleh Panitia Pemilihan tingkat Kecamatan atau PPK.
Pun demikian juga di tingkat Kabupaten dan Kota, Provinsi, bahkan di tingkat Nasional. Bahwa dalam setiap jenjang melibatkan banyak pihak yang memungkinkan tidak terjadinya kecurangan dan atau pelanggaran, seperti kehadiran saksi dan pengawas, itu juga benar. Namun celah dan peluang untuk terjadinya praktik diluar aturan itu selalu ada.
Oleh karena itu, disinilah pentingnya penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada berada ditangan para penyelenggara yang memiliki integritas yang baik. Penyelenggara Pemilu dan Pilkada mesti konsisten dengan sumpah dan janji yang telah dengan lantang diikrarkan pada saat yang bersangkutan dilantik untuk menerima amanah tersebut.
Sumpah dengan membawa nama Tuhan Yang Maha Kuasa dan disaksikan oleh banyak pihak itu, mestinya menjadi acuan dan pedoman bagi para penyelenggara untuk bekerja, bertindak, serta bersikap selaras aturan. Tidak tergiur oleh rayuan, bujukan, godaan, dan bentuk iming-iming lainnya.
Makanya, menjadi penyelenggara Pemilu dan Pilkada itu sebaiknya berorientasi pada pengabdian. Bukan pada penghasilan. Idealnya, seorang penyelenggara itu sudah tidak lagi memikirkan kebutuhan hidupnya, atau isi perutnya. Bagi penyelenggara di tiap tingkatan, urusan ekonomi mestinya sudah lewat.
Penyelenggara yang berorientasi pada penghasilan, bisa membuat dirinya melakukan cara-cara diluar aturan untuk mendapatkan keuntungan. Caranya, ya itu tadi, dengan memanfaatkan kewenangan yang melekat pada dirinya. Cara dimaksud bisa dilakukan oleh KPU dan Bawaslu beserta jajarannya di setiap tingkatan.
Kecurangan yang berpotensi menjadi pelanggaran yang dilakukan oleh pengawas Pemilu, bisa dalam bentuk mengendurkan pengawasan, tidak menindak-lanjuti temuan dan atau laporan terjadinya pelanggaran, dan bisa juga sebaliknya, melakukan pengawasan melekat hanya pada peserta Pemilu dan Pilkada tertentu saja.
Kalau para penyelenggara sendiri yang mestinya bertindak jujur dan adil dalam menggelar dan mengawasi pesta demokrasi ini, namun malah melakukan praktek culas dan curang yang bertentangan dengan isi sumpah dan janji saat dilantik, maka niat mewujudkan Pemilu dan Pilkada yang baik dan bermartabat, akan jauh dari harapan.
Atas adanya perilaku nakal penyelenggara Pemilu dan Pilkada sebagaimana Penulis sampaikan pada bagian awal tulisan ini, maka tak salah bila kemudian menuai kutukan dari publik. Yang bersangkutan mesti ditindak secara tegas sehingga Pilkada yang akan digelar pada November tahun ini tidak kembali ternoda oleh perilaku tak pantas saat perhelatan Pemilu lalu.
Pesta demokrasi harus bersih dari orang-orang yang memiliki tabiat seperti itu. Alih-alih mereka diharapkan bisa menjadi pemangku hajat yang baik, malah bisa menjadi parasit yang akan mengotori pesta yang mestinya berlangsung secara jujur dan adil. Pembiayaan yang tidak sedikit bagi perhelatan ini, menjadi ternoda oleh ulah oknum penyelenggara yang tidak bertanggung-jawab ini.
Pun demikian dengan perilaku tak elok yang dilakukan oleh oknum anggota DPRD yang melakukan intervensi kepada penyelenggara Pemilu dengan cara mengeluarkan rekomendasi bagi nama-nama yang mesti lolos dalam seleksi calon PPK Pilkada 2024. Majelis Kehormatan Dewan atau MKD setempat mesti bertindak untuk memproses ulah oknum anggota DPRD tersebut yang diduga melanggar kode etik anggota DPRD.
Selain itu, KPU Kabupaten dimaksud mesti memberikan penjelasan dan keterangan kepada publik berkaitan dengan adanya dugaan pemberian uang dari calon anggota DPR RI dan atau DPRD kepada sebagian dari mereka sendiri dan beberapa anggota PPK di kecamatan tertentu.
Bila cukup bukti, bisa diproses lewat laporan dugaan pelanggaran kode etik kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu atau DKPP. Bila terbukti menerima pemberian sejumlah uang dengan maksud untuk pemenangan calon tertentu, mendukung DKPP untuk menjatuhkan sanksi tegas agar oknum penyelenggara Pemilu dan Pilkada dicopot dan diberhentikan dari jabatannya.
Mengapa harus tegas? Karena penyelenggara yang menerima pemberian sejumlah uang dari pihak lain yang bisa dikategorikan sebagai suap dan atau gratifikasi itu, merupakan bentuk pelanggaran berat. Tidak cukup bila hanya ditegur atau diperingatkan, baik secara lisan maupun tertulis. Tapi mesti diberhentikan secara tidak hormat. Penyelenggara model begini mesti dipangkas, karena dia adalah parasit demokrasi.
***
Serang, 30 Mei 2024
_Penulis adalah Ketua Forum Diskusi dan Kajian Liberal Banten Society atau Fordiska Libas_