LINTASCAKRAWALANEWS.COM – Dudukan merupakan kontribusi wajib krama tamiu dan tamiu, sesuai dengan swadharma dan swadikara yang bersangkutan di desa adat. Dudukan di desa adat wajib disepakati dalam paruman desa adat. Dudukan biasanya ada nominal yang mengikat, nominal tersebut lazim disetarakan dengan harga natura, seperti beras, kelapa dan lain – lain, yang berlaku saat itu.
Ketua LSM GARPPAR (Garda Pejuang Penerus Aspirasi Rakyat), Ngakan Made Rai pada Senin 28 April 2025 di Sekretariat GARPPAR Gianyar mengatakan, dudukan dalam Perda Desa Adat Tahun 2019 di Bali merujuk pada kontribusi wajib yang dikenakan kepada krama tamiu dan tamiu yang berada di wilayah desa adat. Kontribusi ini sah sebagai salah satu sumber pendapatan desa adat dan diatur dalam Perda Bali Nomor 4 Tahun 2019 dan Pergub Bali Nomor 34 Tahun 2019. “Bila ada desa adat yang memungut dudukan/pungutan nominal dari Rp.200 ribu sampai Rp.500 ribu apakah itu sah,” tanya Ngakan Rai.
Ngakan Rai menyatakan, kalau merujuk Perda dan Pergub Bali serta aturan sebagai contoh desa di wilayah Gianyar bagian selatan, memungut dudukan/pungutan dengan menggunakan nominal seharga beras 2 Kg ada juga 3 Kg beras, hal ini tentunya sangat manusiawi hal tersebut tidak terlalu membebankan kepada krama tamiu, kalau Rp.200 ribu sampai Rp.500 ribu itu sudah sangat membebankan sekali.
Lanjut Ngakan Rai, krama tamiu yang tinggal di wilayah Desa Selat Gianyar ada yang membayar dudukan/pungutan dari Rp.200 ribu sampai Rp.500 ribu, sampai ada krama tamiu yang negosiasi mau membayar Rp.100 ribu tetapi ditolak oleh pecalang yang memungut dudukan tersebut, ini sangat memberatkan krama tamiu, hal ini supaya tidak terjadi mis komunikasi takutnya dikategorikan pungli dan bisa berurusan dengan penegak hukum.
Ngakan Rai berharap kepada Bendesa Adat Selat sebelum melakukan dudukan/pungutan kepada krama tamiu supaya berkoordinasi dengan MDA Kabupaten Gianyar, apakah memungut dudukan dari Rp.200 ribu sampai Rp.500 ribu tersebut dibenarkan. Hal tersebut supaya kedepan tidak berurusan dengan hukum positif, apalagi di Kabupaten Gianyar sudah ada saber pungli yang mengawasi setiap desa baik desa dinas maupun desa adat yang melakukan dudukan/pungutan kepada krama tamiu.
Ngakan Rai menjelaskan, memang dudukan/pungutan sebagai kontribusi wajib sebagai bentuk kontribusi finansial yang wajib dibayarkan oleh warga yang tidak termasuk dalam krama desa adat/krama tamiu dan tamiu sebagai timbal balik atas penggunaan fasilitas dan layanan yang disediakan oleh desa adat, seperti penggunaan lahan, pengelolaan air atau menjaga kelestarian lingkungan.
“Legalitas hukum mengenai dudukan/pungutan yakni Perda Bali Nomor 4 Tahun 2019 dan Pergub Bali Nomor 34 Tahun 2019 memberikan dasar hukum yang sah bagi desa adat untuk mengenakan dudukan/pungutan kepada krama tamiu, asalkan sesuai dengan pararem atau aturan adat yang berlaku di desa adat yang tentunya nominalnya tidak terlalu memberatkan krama tamiu karena mereka saudara kita juga,” tegas Ngakan Rai.
Ngakan Rai mengatakan, standar dudukan/pungutan kepada krama tamiu harus mempertimbangkan prinsip keadilan, kemanfaatan dan kepatutan. Memang desa adat memiliki kewenangan untuk memungut dudukan kepada krama tamiu dan mengelola pendapatan yang diperoleh dari dudukan tersebut, sesuai dengan pararem dan peraturan yang berlaku, tetapi jangan sampai memungut dudukan terlalu tinggi dari Rp.200 ribu sampai Rp.500 ribu itu sangat memberatkan,” tegasnya.
Menurut Ngakan Rai, penyusunan pararem sebagai payung hukum bagi desa adat untuk melakukan pungutan, di pararem sudah pasti tercantum nilai jumlah dudukan yang harus dibayar oleh krama tamiu dan sudah memperoleh nomor registrasi dari Dinas Pemajuan Masyarakat Adat Provinsi Bali. Nilai jumlah dudukan sudah pasti menggunakan nominal harga beras, kelapa dan lain – lain dengan besaran 2 Kg sampai 3 Kg.
Ketua LSM GARPPAR (Garda Pejuang Penerus Aspirasi Rakyat) ini mempertanyakan, apakah Desa Adat Selat dalam pararem mencantumkan nilai nominal dudukan Rp.200 ribu sampai Rp.500 ribu dalam pararem, apakah sudah melakukan koordinasi dengan MDA Kabupaten Gianyar dan Provinsi Bali. Perda Bali Nomor 4 Tahun 2019 pasal 65 ayat 1 huruf g berbunyi pendapatan lain – lain desa adat yang sah. Ngakan Rai bertanya apakah dudukan Rp.200 ribu sampai Rp.500 ribu tersebut termasuk pendapatan lain – lain desa adat yang sah dan wajar. “Apakah perarem desa adat tersebut sudah memperoleh nomor registrasi dari Dinas Pemajuan Masyarakat Adat Provinsi Bali, apakah diijinkan melakukan pungutan dudukan sebesar itu, karena persoalan pungutan dudukan di lingkup desa adat beberapa kali mencuat ke ruang publik,” tanya Ngakan Rai.
Ngakan Made Rai menyatakan, dalam hal ini dirinya mengapresiasi keberadaan saber pungli, dan sangat mengapresiasi Polres Gianyar yang diwakili Wakapolres Gianyar, Kompol. Putu Diah Kurniawandari, S.H., S.I.K., M.H, dimana memberangus pungli dan korupsi tidak harus dari kepala dulu, kita harus melihat potensi korupsi dan pungli tersebut, sekarang ini kalau diamati memang banyak dari bawah, tepat apa yang dikatakan Wakapolres Gianyar.
Ngakan Made Rai menjelaskan, pemberantasan pungli dan korupsi tidak melihat diatas tetapi harus juga melihat di bawah, sehingga atas bawah harus dihabisi, ini yang perlu digarisbawahi jangan seperti hangat hangat tahi ayam, hanya dipakai pencitraan, kalau memang benar saya mengundang teman – teman yang duduk di saber pungli dengan hormat datang ke Sekretariat GARPPAR di Jalan Raya Bukit Jati Gianyar.
Ngakan Made Rai menjelaskan apa yang diuraikan Wakapolres Gianyar, Kompol. Putu Diah Kurniawandari, S.H., S.I.K., M.H mengenai pungutan liar tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga mencederai kepercayaan terhadap institusi pemerintahan dan adat. Pencegahan pungli harus dimulai dari lingkungan terkecil, termasuk dalam pengelolaan administrasi desa adat. Pihaknya mengharapkan para bendesa adat dapat menjadi agen perubahan dalam menciptakan lingkungan yang bersih dari pungutan liar. @ (RED/NU)