LINTASCAKRAWALANEWS.COM –
Jauh sebelum Komisi Pemilihan Umum atau KPU menetapkan pasangan calon Kepala Daerah, para bakal calon telah melakukan sosialisasi dirinya dengan mencantumkan nama dan memasang fotonya pada berbagai media, seperti baliho dan spanduk.
Karena belum ditetapkan sebagai calon, pada baliho dan spanduk itu belum tercantum nomor urut pasangan calon. Nomor urut baru bisa diketahui setelah mereka ditetapkan sebagai pasangan calon dan mendapatkannya dengan cara diundi oleh KPU.
Pasca penetapan calon dan pengundian nomor urut, Pilkada memasuki tahapan kampanye. Pasangan calon diperbolehkan untuk melakukan kampanye dengan beragam cara. Satu diantaranya adalah pemasangan Alat Peraga Kampanye atau APK.
KPU memberikan fasilitasi berupa pembuatan dan pemasangan APK bagi seluruh pasangan calon. KPU juga memfasilitasi Bahan Kampanye atau BK. Sederhananya, APK itu media yang dipasang, seperti billboard, baliho, spanduk, dan umbul-umbul. Sementara BK adalah media yang dibagikan atau disebar seperti poster, pamflet, brosur, dan selebaran.
Selain APK dan BK yang difasilitasi oleh KPU, pasangan calon juga diperbolehkan membuat dan memasang APK dan BK sendiri. Jumlah APK yang dibuat oleh masing-masing pasangan calon sebanyak 200% dari APK yang difasilitasi oleh KPU. Demikian juga dengan BK.
Karena APK dan BK yang difasilitasi oleh KPU serta yang dibuat oleh pasangan calon dicetak setelah penetapan pasangan calon dan pengundian nomor urut, maka dalam APK dan BK sudah tercantum nomor urut pasangan calon.
Dengan demikian, bila kita menemukan APK seperti baliho dan spanduk yang terpasang di ruang publik dan tidak menyertakan nomor urut, bisa dipastikan APK itu liar dan tidak sah. Bisa jadi itu merupakan APK bekas tahapan sosialisasi diri para bakal calon sebelum mereka ditetapkan sebagai pasangan calon.
Mengapa disebut “bekas” dan karena begitu dikategorikan sebagai APK yang tidak sah? Karena mestinya, sebelum pasangan calon ditetapkan, sebelum mendapatkan nomor urut, sebelum masuk tahapan kampanye, ruang publik harus bersih dari APK.
KPU mengatur APK baik desain, bentuk, dan jumlahnya agar asas keadilan bagi seluruh pasangan calon bisa ditegakkan. Jangan sampai karena pasangan calon tertentu memiliki resource pendanaan yang berlimpah, APK nya lebih banyak terpasang dibanding pasangan calon yang minim pendanaan.
Sebagai contoh. Untuk Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Banten, KPU Provinsi Banten memfasilitasi APK berupa billboard, baliho, spanduk, dan umbul-umbul. Billboard sebanyak 2 buah untuk tiap pasangan calon di tiap kabupaten atau kota.
Baliho 5 buah untuk tiap pasangan calon yang dipasang di tiap kabupaten dan kota. Spanduk 2 buah untuk tiap pasangan calon di tiap desa atau kelurahan. Dan umbul-umbul 20 buah untuk tiap pasangan calon di setiap kecamatan se Provinsi Banten.
Di luar APK yang difasilitasi oleh KPU tersebut, pasangan calon diperbolehkan untuk membuat dan memasang APK masing-masing sejumlah 200% dari APK yang difasilitasi oleh KPU. Misalnya, masing-masing pasangan calon boleh memasang billboard paling banyak 4 buah di tiap kabupaten atau kota.
Dengan demikian hanya akan terdapat 6 buah APK dalam bentuk billboard bagi masing-masing pasangan calon dalam satu kabupaten atau kota. Dua buah yang difasilitasi KPU, dan 4 buah yang dibuat oleh masing-masing pasangan calon. Bila lebih dari itu berarti ilegal dan karenanya bisa ditertibkan.
Untuk baliho, masing-masing pasangan boleh mencetak dan membuatnya paling banyak 10 buah yang ditempatkan di tiap kabupaten atau kota. Spanduk 4 buah untuk masing-masing pasangan calon dan ditempatkan di tiap desa atau kelurahan. Dan umbul-umbul sebanyak 40 buah untuk masing-masing pasangan calon yang dipasang di setiap kecamatan.
Persoalannya, bagaimana cara masyarakat mengetahui dan membedakan antara APK yang difasilitasi oleh KPU dengan APK yang dibuat oleh masing-masing pasangan calon? Emang apa urgensinya?
Oke, bila itu tidak urgent, pertanyaan lainnya, bagaimana cara masyarakat mengetahui bahwa masing-masing pasangan calon tidak membuat dan memasang APK melebihi jumlah kuota yang seharusnya? Perkara jumlah sebagai jatah ini penting untuk diketahui karena dalam rangka asas keadilan tersebut.
Apakah mungkin pasangan calon membuat dan memasang APK melebihi dari jumlah yang ditetapkan? Lha, buktinya saat ini saja yang banyak terpasang di ruang publik merupakan APK liar yang tidak masuk ke dalam dua kategori yang telah disebutkan di atas.
Persoalan lainnya, APK yang difasilitasi oleh KPU itu mesti dibuat, dipasang, dirawat, dan ditertibkan atau dicopot oleh KPU pada saat tahapan masa tenang nanti. Pun demikian dengan APK yang dibuat oleh masing-masing pasangan calon. Mereka sendiri yang mesti membuatnya, memasangnya, merawatnya, dan menertibkannya.
Belum lagi dalam rangka memberikan pelayanan yang setara, APK yang difasilitasi oleh KPU mesti dipasang pada tempat yang sama. Misalnya baliho, spanduk, dan umbul-umbul. Kalau billboard penempatannya tergantung kepada fasilitas yang dimiliki oleh perusahaan jasa penyedia layanan.
Hal lain, karena Pilkada kali ini merupakan pengalaman pertama menyerentakkan antara Pemilihan Bupati atau Walikota yang diserentakkan dengan Pemilihan Gubernur, maka muncul fenomena APK dalam bentuk tandem.
Tandem dimaksud adalah adanya APK berupa spanduk atau baliho yang memuat pasangan calon Bupati dan Wakil atau Walikota dan Wakil, yang terpasang dalam satu “frame” bersama pasangan calon Gubernur dan Wakil.
Misalnya ada sebuah baliho dengan gambar Airin Rachmy-Ade Sumardi yang adalah pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Banten dengan nomor urut 1, bersama dengan gambar Fitron-Diana, pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Pandeglang dengan nomor urut 1.
Atau sebuah baliho dengan gambar Andra Soni-Dimyati Natakusumah yang adalah pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Banten dengan nomor urut 2, bersama dengan gambar Ratu Zakiyah-Najib Hamas, pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Serang dengan nomor urut 2.
Perlu diketahui bahwa pasangan Airin-Ade adalah calon Gubernur dan Wakil Gubernur Banten yang diusung oleh koalisi Partai Golkar dan PDIP. Pun demikian dengan pasangan Fitron-Diana, calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Pandeglang yang juga diusung oleh koalisi Partai Golkar dan PDIP.
Kebetulan kedua pasangan ini mendapatkan nomor urut yang sama. Yaitu nomor 1. Atas dasar itulah kemudian tim mereka melakukan inovasi dengan cara membuat APK dalam bentuk tandem tersebut. Calon Gubernur dan Wakil serta calon Bupati dan Wakil berada dalam satu baliho atau spanduk.
Begitu pula dengan pasangan Andra-Dimyati, calon Gubernur dan Wakil Gubernur Banten yang diusung oleh koalisi Partai Gerindra, PKS, dan yang lainnya. Sementara pasangan Zakiyah-Najib sebagai calon Bupati dan Wakil Bupati Serang, juga diusung oleh koalisi partai yang sama. Mereka juga mendapatkan nomor urut yang sama. Yaitu nomor 2.
Baliho dengan model tandem itu, apakah dihitung sebagai jatah calon Gubernur dan Wakilnya, atau kah dihitung sebagai kuota APK Bupati dan Wakilnya? Bila mengacu kepada keputusan KPU, sejatinya tidak akan ada APK dalam bentuk baliho dengan model tandem tersebut.
Mengapa? Karena sebelum masing-masing pasangan calon membuat APK, mereka mesti melakukan konsultasi dulu kepada KPU, perihal jumlah, ukuran, dan desain APK. Dan pastinya, baliho model tandem tidak akan diloloskan oleh KPU.
Kesimpulannya, bila kita menemukan baliho atau spanduk dengan gambar tandem antara calon Gubernur dan Wakilnya dengan calon Bupati atau Walikota dengan Wakilnya, maka bisa dipastikan bahwa APK itu masuk kategori liar dan karenanya ilegal.
Termasuk baliho atau spanduk yang tidak mencantumkan nomor urut pasangan calon. APK model begitu bisa dipastikan dibuat sebelum adanya penetapan dan pengundian nomor urut. APK demikian, bisa dipastikan bukan difasilitasi oleh KPU dan bukan dibuat oleh pasangan calon sebagai bagian dari kuota 200% itu.
Karenanya, untuk menjaga agar kontestasi Pilkada ini terselenggara dengan lancar, sebaiknya seluruh pihak wajib mematuhi dan mentaati aturan yang telah tertuang dalam regulasi. Dengan begitu, semoga Pilkada 2024 ini berjalan dengan baik dan bermartabat. Wallahualam.
***
Tangerang, Minggu, 13 Oktober 2024
_Penulis adalah Ketua Forum Diskusi dan Kajian Liberal Banten Society (Fordiska Libas)_