SKANDAL TALI ASIH PT. NPR……!! Kades Muara Pari Diduga Terlibat Penyerobotan dan Pemalsuan Data, Warga Karendan Tuntut Penegak Hukum Bentuk Tim Gabungan 

Oplus_131072

 

LCN || Ketegangan antara masyarakat adat Desa Karendan dengan PT. Nusa Persada Resources (NPR) dan aparat desa dari Muara Pari kini semakin memuncak.

Pasalnya salah satu perwakilan dari warga Karendan yang merupakan pemilik sah ladang berpindah-pindah dalam wilayah Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) PT. NPR tersebut mengaku dirampas haknya secara sepihak dengan diduga melibatkan oknum Kepala Desa Muara Pari serta aktor lokal bernama Arif Subhan.

Hal itu pun disampaikan Jhon Kenedy kepada awak media, Sabtu (28/07/2025).

Menurut Jhon Kenedy, Kepala Desa Muara Pari dan sejumlah warganya telah menerima dana tali asih senilai miliaran rupiah dari PT. NPR secara diam-diam, tanpa dasar hak kelola ataupun bukti pernah mengelola lahan yang dibebaskan.

Bahkan warga asli yang telah bertahun-tahun mengelola ladang berpindah di kawasan tersebut justru tidak dilibatkan, tidak diundang, dan tidak pernah ditawarkan ganti rugi yang layak.

“Kami pemilik hak kelola asli bertanya, atas dasar apa mereka bisa terima uang, Mereka tidak punya ladang berpindah, tidak pernah berkebun di sana. Kami nilai ini perampasan hak dan penyalahgunaan wewenang,” ucap Jhon Kenedy dengan tegas.

Karena kata Jhon lagi, Temuan di lapangan mengindikasikan bahwa Kades Muara Pari membentuk kelompok tani fiktif atas nama “Kelompok Iyek” yang diduga direkayasa hanya untuk menerima dana tali asih.

“Data kelompok dan lahan tersebut diduga dimanipulasi dengan bantuan Arif Subhan, aktor lokal yang kerap tampil sebagai perantara PT. NPR dalam berbagai konflik lahan,”ungkapnya.

Kami dari masyarakat tambahnya lagi, menyebutkan bahwa kelompok tersebut mengklaim ladang yang jelas-jelas telah dikelola turun-temurun oleh masyarakat Karendan, dan didaftarkan secara ilegal sebagai milik warga Muara Pari untuk mendapatkan pembayaran dari perusahaan tambang.

” Jadi Kasus ini diduga telah melanggar sejumlah peraturan dan undang-undang, antara lain, Pasal 385 KUHP, Penyerobotan tanah oleh pihak yang tidak berhak, Pasal 372 KUHP, Penggelapan hak milik orang lain, Pasal 263 KUHP Pemalsuan dokumen dan Pasal 1365 KUHPerdata Perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian.

Yang mana katanya lagi, diatur dalam UU No. 3 Tahun 2020 (UU Minerba), Pasal 145: Masyarakat terdampak berhak atas ganti rugi, bukan diganti oleh pihak ketiga yang tidak sah, UU Kehutanan Pasal 68: Menjamin kompensasi bagi masyarakat yang kehilangan hak atas tanah akibat penetapan kawasan hutan dan Putusan MK No. 34/PUU-IX/2011: Penetapan kawasan hutan tanpa ganti rugi melanggar hak konstitusional.

“Maka kami dari masyarakat adat Karendan menegaskan bahwa mereka adalah korban dari skema manipulatif ini. mereka tidak hanya kehilangan hak atas tanah, namun juga difitnah dan dikriminalisasi, bahkan beberapa dari mereka dilaporkan ke polisi atas tuduhan perambahan hutan,”ucapnya.

Ironisnya, padahal sesuai Pasal 136 UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba, pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) seperti PT. NPR wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan masyarakat terlebih dahulu sebelum melakukan operasi produksi.

“Namun, PT. NPR justru melakukan pengrusakan sepihak terhadap lahan masyarakat, menggunakan alat berat seperti ekskavator dan dozer yang merusak berat dua pondok dan tiga rumah pondok milik warga,”ungkapnya.

Maka dari itu kami dari masyarakat Desa Karendan dengan tegas menyampaikan beberapa tuntutan:

1. Pemerintah pusat membentuk Tim Gabungan Independen dari KPK, Bareskrim Polri, Kementerian ATR/BPN, Dinas Kehutanan dan SDM Provinsi Kalteng untuk melakukan investigasi langsung di lapangan.

2. Kapolres Barito Utara dan jajaran Polres diminta bersikap netral dan tidak memfasilitasi transaksi ilegal yang merugikan masyarakat adat.

3. Pemeriksaan hukum terhadap Kades Muara Pari, Arif Subhan, Hirung, dan semua pihak yang terlibat dalam dugaan manipulasi data, penyerobotan hak, dan penggelapan dana.

4. PT. NPR diminta menghentikan seluruh aktivitas operasi sampai seluruh konflik lahan diselesaikan secara adil,”ucapnya.

Skandal tali asih 190 hektare ini mencerminkan bagaimana praktik korporasi tambang yang dibungkus kekuasaan lokal dapat menjadi alat pemerasan terselubung terhadap hak masyarakat adat, bukannya dilindungi, warga justru mengalami perampasan, kriminalisasi, dan intimidasi.

“Jika negara tidak segera turun tangan, maka konflik agraria ini akan terus membesar dan menjadi preseden buruk bagi keadilan sosial di Kalimantan Tengah.

“Kami masyarakat kecil hanya menuntut satu hal: keadilan. Kami tidak akan diam jika hak kami terus dilanggar oleh kekuasaan yang bersekongkol dengan modal,” tutup Jhon Kenedy dalam pernyataannya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *