Ketika Jurnalis Beropini

Ocit Abdurrosyid Siddiq
Penulis adalah Pengamat Media Publik dan Ketua Fordiska Libas Banten

LINTASCAKRAWALANEWS.COM, Jurnalis dan penulis itu beda. Kalau jurnalis bertugas menyampaikan informasi. Sementara penulis membentuk opini. Jurnalis mah objektif. Penulis mah subjektif. Jurnalis mah menulis apa adanya. Penulis mah menyajikan cara pandangnya.

Kewartawanan atau jurnalisme adalah kegiatan menghimpun berita, mencari fakta, dan melaporkan peristiwa. Pengertian jurnalisme dalam konsep media, berasal dari perkataan “journal” Artinya catatan harian mengenai kejadian sehari-hari, atau bisa juga berarti surat kabar. Demikian menurut Wikipedia.

Di Indonesia, istilah “jurnalistik” dulu dikenal dengan “publisistik”. Dua istilah tersebut mulanya kerap saling tertukar, hanya berbeda asalnya saja. Beberapa kampus di Indonesia sempat menggunakannya karena berkiblat kepada Eropa. Seiring waktu, istilah jurnalistik muncul dari Amerika Serikat dan menggantikan istilah publisistik.

Yang menghimpun berita, mencari fakta, dan melaporkan peristiwa, namanya jurnalis, atau wartawan. Saat menyampaikan hasilnya, berita, fakta, dan peristiwa, disajikan apa adanya. Apa kejadiannya, dimana lokasinya, kapan waktunya, siapa pelakunya, bagaimana peristiwanya.

Anda mungkin pernah membaca sebuah berita, baik di media cetak maupun di media online, yang rumusan judul beritanya disisipi diksi “waduh”, “kejam”, “sadis”, “tragis”, “kasihan”, “memalukan”, “nirakhlak”, bahkan diksi yang erat dengan terminology agama. Misalnya “subhanallah”, atau “astaghfirullah”.

Apakah rumusan judul berita dengan sisipan diksi diatas salah? Bila jurnalis konsisten menerapkan kaidah jurnalistik dengan benar, maka rumusan judul berita seperti diatas keliru. Mengapa? Ya karena sisipan itu adalah “cara-pandangnya” jurnalis.

Padahal, tugas jurnalis hanya menyajikan berita dan atau informasi apa adanya sesuai dengan fakta yang ditemukan. Perkara bahwa berita itu masuk kategori sadis, kejam, memalukan, atau terlalu, biarkan itu menjadi ranah pembaca mencecapnya.

Apakah dengan demikian jurnalis tidak boleh menyampaikan sudut-pandangnya? Sejatinya tiada larangan untuk itu. Hal itu diperkenankan baginya. Tapi bukan dalam berita atau informasi yang dia laporkan. Pada saat tertentu, jurnalis bisa menjadi penulis.

Ketika jurnalis berperan sebagai penulis, maka ada ruang bagi dia untuk beropini. Medianya adalah artikel. Artikel, kadang ditulis oleh seorang penulis, bisa juga dilakukan oleh jurnalis. Tajuk Rencana di harian Kompas misalnya. Pada artikel inilah ada keleluasaan baik bagi penulis maupun jurnalis untuk mengungkapkan sudut-pandangnya.

Karena tugas jurnalis menyajikan fakta apa adanya, maka menyematkan stigma sarat norma, baik norma tradisi atau budaya maupun norma agama, akan menyebabkan jurnalis seperti menggurui pembaca. Padahal, pembaca hanya menghajatkan fakta. Bukan cara pandangnya. Perkara norma, biarkan pembaca yang menakarnya.

Bukankah jurnalis harus punya idealisme untuk menyampaikan bahwa yang benar itu benar dan yang salah itu adalah salah? Ya itu benar. Tapi bukan pada nilai atas sebuah kejadian. Keberanian mengungkapkan fakta apa adanya, itulah wujud idealisme seorang jurnalis.

Satu contoh misalnya. Ada sebuah tulisan kategori berita –dan bukan opini- pada sebuah portal media nasional, dengan judul “Abu Janda, Denny Siregar, dan Virus Bernama Nirakhlak”. Semula saya tidak percaya, media sekelas nasional ini menyajikan judul berita dengan rumusan demikian.

Dari isinya, amat jelas bahwa itu tulisan berita. Bukan opini. Menyertakan label sebuah rumusan berita dengan diksi “nirakhlak”, menunjukkan bahwa jurnalis bersangkutan sudah tidak objektif lagi. Karena sudut pandangnya telah merasuk pada sifat berita yang sejatinya mesti objektif.

Terlepas dari isinya –karena tulisan ini tidak sedang dan bukan sedang membahas perkara konten, bukan perkara isi, bukan perkara ontology- penyajian sebuah berita dengan rumusan demikian membuat rancu peran seorang jurnalis dan penulis.

Bahwa isinya benar, saya sepakat. Tapi saya tidak sedang membahas itu. Saya tidak sedang meneropong perkara ontology. Yang saya tinjau adalah aspek epistemology. Perkara cara, bukan perkara isi!

Niat baik, mesti dilakukan dengan cara yang benar. Karena niat baik yang dilakukan dengan cara tidak baik –apalagi tidak benar- tidak akan menuai kebaikan. Demikianlah contoh yang diperlihatkan oleh para ahli dan ulama ushul fiqih terdahulu ketika mereka berijtihad.

Untuk rekan-rekan jurnalis, sajikan informasi berupa berita tanpa opini. Karena perkara opini itu tugas penulis. Jurnalis bisa beropini ketika kapasitasnya sebagai penulis. Tulisan opini bukan dalam kolom berita. Tapi dalam kolom opini. Seperti halnya para penulis lakukan.

Ketika jurnalis memasukkan opini pribadi ke dalam berita, itu rancu. Ketika penulis memasukkan berita ke dalam opini, itu referensi. Tahu diri dan sadar kapasitas adalah wujud penerapan prinsip profesionalitas dan proporsionalitas. Pointnya, isi penting, dan cara juga penting.

Tulisan ini adalah opini. Bukan berita. Karenanya subjektif. Subjektif itu tidak mutlak kebenarannya. Karenanya, bisa ditanggapi dengan opini lain. Opini direspon dengan opini itu keren. Karena proses tersebut akan melahirkan dialektika.
***

Tangerang, Rabu, 19 Juni 2024

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *