Ocit Abdurrosyid Siddiq
Penulis adalah Pegiat Demokrasi dan Pemilu
LINTASCAKRAWALANEWS.COM – Beberapa waktu lalu, dalam sebuah acara rapat dengar-pendapat di gedung DPR RI yang dihadiri oleh anggota Komisi II DPR RI, anggota Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia atau KPU RI, anggota Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia atau Bawaslu RI, serta anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu atau DKPP, muncul pertanyaan dari salah satu anggota Komisi II DPR RI yang cukup mengagetkan banyak pihak.
Salah satu peserta rapat yaitu Riswan Tony, anggota Komisi II Fraksi Partai Golkar, menyindir perkara gaya hidup para anggota KPU RI yang menurutnya berlagak seperti tokoh fiksi penakluk wanita Don Juan. Dia juga mengaku kaget karena KPU mendapat anggaran triliunan rupiah untuk penyelenggaraan Pemilu.
Tidak berhenti disitu, Riswan Tony menyebut bahwa para pejabat KPU itu kerap menyewa jet, suka dugem, hingga bermain wanita. Menurut dia, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu atau DKPP pasti sudah mendengar informasi mengenai kelakuan anggota KPU tersebut.
Pada kesempatan lain, Ketua KPU RI Hasyim Asyari membenarkan penggunaan pesawat private jet itu. Dia beralasan, itu untuk kepentingan mobilitasnya bersama anggota lain dan pejabat di lingkungan KPU RI. Menurutnya, _“Kalau pesawat sewaan itu untuk monitoring logistik. Pengadaan logistik itu hanya 75 hari. Dan yang bertanggung jawab KPU. Kalau logistik gagal, 14 Februari gagal, siapa yang dimintai tanggung jawab?”._
Sementara itu, anggota Komisi II DPR Fraksi Demokrat Rezka Oktoberia menilai alasan Hasyim mengada-ngada. Dia mempertanyakan urgensi penyewaan private jet ini. _“Monitoring apa yang urgent? Sehingga mesti menggunakan private jet ke Denpasar Bali 10 Januari 2024. Untuk memonitor surat suara terkirim, apa harus pakai private jet?”,_ cecarnya.
Sementara perkara dugem direspon oleh salah satu pimpinan Komisi II DPR RI Junimart Girsang yang mengusulkan agar perkara tersebut disampaikan secara tertutup karena menyangkut persoalan pribadi dan atau susila. Dia menyarankan agar DKPP melakukan langkah-langkah untuk memproses persoalan tersebut.
Walau demikian, ada sentilan yang cukup membuat _seneb kana angen_ dari Junimart Girsang. Dia menyatakan bahwa sebagian besar Komisioner KPU tak berintegritas karena hanya mencari kerja. _”Saya tidak tahu bagaimana cara rekrutmen KPU di daerah itu. Saya nyatakan hampir 70 persen Komisioner KPU tidak layak pakai. Kenapa? Tidak punya integritas. Mereka hanya cari kerja, bukan untuk kerja!”,_ tandasnya.
***
Untuk menjadi penyelenggara Pemilu, baik itu anggota KPU RI juga anggota Bawaslu RI, mesti melewati berbagai tahapan seleksi yang dilakukan secara berjenjang. Selain kelengkapan berkas administrasi, juga rekam-jejak pendaftar yang antara lain tidak terafiliasi kepada partai politik. Baik sebagai anggota apalagi pengurus.
Ketika dinyatakan lolos seleksi administrasi, selanjutnya peserta mengikuti test tertulis, test kesehatan fisik, test kesehatan jiwa, test wawancara, dan profiling, yang dilakukan oleh tim seleksi. Tim seleksi akan menyerahkan nama-nama sebanyak 2 kali kebutuhan kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai bakal calon.
Nama-nama tersebut kemudian diserahkan kepada DPR RI dalam hal ini adalah anggota Komisi II. Mereka melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap seluruh nama-nama yang diserahkan oleh Presiden. Selanjutnya, anggota Komisi II memilih calon anggota KPU dan Bawaslu. Nama-nama terpilih kemudian diserahkan kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai anggota KPU RI dan Bawaslu RI.
Mekanisme yang sama juga diterapkan pada saat seleksi calon anggota penyelenggara Pemilu di daerah. Baik KPU dan Bawaslu Provinsi, juga KPU dan Bawaslu Kabupaten dan Kota. Bedanya, mereka tidak dipilih oleh DPR RI dan tidak ditetapkan oleh surat keputusan Presiden.
Sama halnya seperti calon anggota KPU RI dan Bawaslu RI, mereka yang di daerah mengikuti seluruh tahapan test seleksi. Bedanya, uji kepatutan dan kelayakan dilakukan oleh anggota KPU RI atau Bawaslu RI. Calon anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten dan Kota oleh KPU RI. Calon anggota Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten dan Kota oleh Bawaslu RI.
Berbeda dengan lembaga-lembaga di daerah yang anggotanya dipilih oleh DPRD setempat dan ditetapkan oleh Kepala Daerah, seperti anggota Komisi Informasi, Komisi Penyiaran, dan Komisi Perlindungan Anak Daerah. Sementara KPU dan Bawaslu di daerah ditetapkan oleh KPU RI dan Bawaslu RI.
Karena dipilih dan ditetapkan oleh “orang pusat”, maka kedua penyelenggara lembaga Pemilu ini tidak berada dibawah komando atau instruksi DPRD setempat atau Kepala Daerah setempat, baik Gubernur, Bupati, juga Walikota. Ini antara lain dimaksudkan agar penyelenggara Pemilu bisa bersikap netral, memperlakukan sama dan setara kepada semua peserta Pemilu.
Karena dipilih dan ditetapkan oleh orang pusat tadi, maka garis komandonya dari pusat. Bukan dari DPRD atau Kepala Daaerah. Dengan begitu, seluruh instruksi, perintah, arahan, dan bimbingan, berasal dari pusat, yang secara hierarki mesti satu komando bagi penyelenggara Pemilu di daerah. Baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten dan Kota.
Dengan begitu, karena “nasib hidup” penyelenggara Pemilu di daerah yang menentukan adalah pusat, mereka memiliki ketergantungan terhadap pusat. Atas kebaikan orang pusat memilih mereka -tentu dengan mempertimbangkan integritas dan kompetensi juga- untuk bertugas selama 5 tahun, kadang diantara mereka melakukan balas-jasa dengan beragam cara.
Pada celah inilah memungkinkan munculnya budaya patronase. Relasi patron dan klien antara atasan dengan bawahan. Atasan di pusat dan bawahan di daerah. Atasan yang dianggap memiliki kekuasaan, kewenangan, dan otoritas, yang bisa melakukan instruksi dan perintah, juga teguran, sanksi dan atau hukuman.
Patronase yang sangat lekat dengan tradisi feodal sebagai sisa-sisa norma peninggalan leluhur di masa lampau yang sejatinya sudah tidak relevan di masa sekarang ini, diekspresikan dalam bentuk yang beragam.
Tak jarang, bila ada kunjungan orang pusat ke daerah, atau orang daerah ke tingkat yang lebih rendah lagi, seperti penyelenggara Pemilu tingkat Provinsi ke penyelenggara Pemilu tingkat Kabupaten dan Kota, dijamu sedemikian rupa bak tamu kehormatan.
Penulis yang pernah menjadi penyelenggara Pemilu tingkat provinsi, kerap menemukan perilaku seperti itu ketika melakukan kunjungan dalam rangka kerja ke kabupaten dan kota. Kebiasaan sarat feodalisme ini semakin kentara ketika berkunjung ke tingkat kecamatan. Apalagi ke desa dan kelurahan.
_Sagala diaya-aya_ dalam rangka menyambut kedatangan atasan. Acara penyambutan dikemas sedemikian rupa. Makanan, minuman, buah-buahan disediakan. Bahkan kadang iringan musik dan tarian. Mungkin maksudnya untuk memuliakan tamu. Yang padahal bagi Penulis sendiri ritual seperti itu terasa sangat risih.
Ketika acara usai dan hendak pamitan, tak jarang dibekali dengan buah-tangan. Biasanya produk lokal yang menjadi ciri khas daerah tersebut. Dan ini kebiasaan jelek lainnya, membekali tamu yang datang dengan “biaya pengganti BBM”.
Ketika pamit untuk kembali, tak jarang bagasi kendaraan penuh dengan hasil alam. Kelapa, ubi, timun, ikan, cumi, kerang, melon, semangka, hingga durian. Layaknya seorang adipati dalam sebuah kerajaan ketika usai berkunjung menemui rakyatnya, seperti adegan yang kita lihat dalam tayangan sinetron Nusantara di era kerajaan.
Seluruh rangkaian acara dengan segala macam perniknya itu pastinya memerlukan biaya. Dan biaya itu pastinya bukan dana pribadi. Sementara dalam mata-anggaran, acara pretelan yang tidak substantif itu tidak ada alokasinya. Dari mana sumber dana mereka?
Praktek inilah yang kemudian bisa menjadi bumerang. Mereka yang di daerah akhirnya dibuat repot sendiri dengan menyiasati alokasi anggaran dengan cara mengurangi alokasi untuk pembiayaan yang lain dan pastinya berdampak kurang baik, demi menutupi pengeluaran yang bukan semestinya.
Penulis kadang bertanya-ulang, bukankah logikanya setiap atasan itu penghasilannya lebih besar dibanding bawahan? Bukankah atasan itu dalam melaksanakan tugasnya telah dibekali dengan biaya operasional? Bukankah dengan begitu mestinya atasan yang mentraktir bawahan? Mengapa bawahan yang sudah mah penghasilannya kecil lalu dipaksa _ngaya-ngaya nu teu aya?_
Harus diakui, tabiat feodal sisa-sisa peninggalan leluhur yang sejatinya sudah tidak relevan lagi itu masih ada, baik di kalangan penyelenggara Pemilu maupun di lembaga dan instansi lain. Private jet dan perkara dugem sebagaimana yang disangkakan -yang belum tentu terbukti- merupakan ekspresi dalam bentuk lain dari praktek feodalisme dalam tubuh penyelenggara Pemilu dan Pilkada!
***
Tangerang, Selasa, 4 Juni 2024
Penulis adalah Ketua Forum Diskusi dan Kajian Liberal Banten Society (Fordiska Libas) (red)