Ocit Abdurrosyid Siddiq
Penulis adalah warga biasa
LINTASCAKRAWALANEWS.COM | Forum Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia atau MUI memutuskan bahwa mengucapkan salam lintas agama bukan implementasi dari toleransi. Hal ini merupakan hasil dari Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI Se-Indonesia VII yang digelar di Bangka Belitung pada pekan keempat Mei 2024.
“Pengucapan salam dengan cara menyertakan salam berbagai agama, bukan merupakan implementasi dari toleransi dan atau moderasi beragama yang dibenarkan”, demikian salah satu bunyi poin keputusannya.
MUI menilai pengucapan salam merupakan doa yang bersifat ubudiah atau mengabdikan diri kepada Allah SWT. Karenanya, harus mengikuti ketentuan syariat Islam dan tidak boleh dicampuradukkan dengan ucapan salam dari agama lain.
“Pengucapan salam yang berdimensi doa khusus agama lain oleh umat Islam hukumnya haram”, demikian penegasan MUI.
Atas fatwa MUI tersebut, muncul beragam tanggapan dari masyarakat, khususnya umat Islam. Termasuk Penulis yang merasa tertarik untuk urun-pemikiran menanggapi keputusan tersebut. Bila pun berbeda dalam pendapat, tidak lantas menegasikan pendapat yang lain yang berseberangan. Dengan perbedaan pendapat, malah bisa menumbuhkan dialektika yang memperkaya khazanah keilmuan dalam Islam.
Seperti halnya mengucapkan ”Selamat Merayakan Natal” oleh seorang muslim kepada kawannya yang Kristen, itu hanya sebatas menyampaikan empati sebagai sesama manusia dan sesama umat beragama, tanpa menyertainya dengan “mengakui bahwa Yesus adalah Tuhan”. Pun demikian dengan ucapan salam lintas agama.
Biasanya itu terucap dalam sebuah acara dengan peserta yang terdiri dari beragam penganut agama dan lintas iman. Sebagai pembuka, pengisi acara mengucapkan beragam salam lintas agama, sehingga seluruh peserta yang beragam iman tadi, merasa dirangkul dan menjadi bagian dari acara dimaksud.
Bahwa “Namo Buddhaya” bermakna “Terpujilah Sang Buddha”, yang diucapkan oleh seorang muslim untuk menyapa kawan yang beragama Buddha, namun tidak lantas bermakna bahwa sang pengucap mengakui bahwa Buddha adalah Tuhan.
Bahwa “Om Swastiastu” bermakna “Semoga dalam keadaan selamat atas karunia Hyang Widhi” yang diucapkan oleh seorang muslim untuk menyapa kawan yang beragama Hindu, juga tidak lantas bermakna bahwa dia mengakui Hyang Widhi sebagai Tuhan.
Sapaan itu sama halnya dengan ucapan ”Selamat Merayakan Natal” yang mengekspresikan rasa turut bahagia seorang muslim bagi kawan-kawan Kristen yang sedang merayakan Natal. Saat mengucapkannya semata wujud empati. Bukan otomatis mengakui kebenaran bahwa Yesus adalah Tuhan.
Bila muncul pertanyaan, bukankah bila non muslim mengucapkan syahadat maka dia otomatis jadi mualaf? Ah, tidak juga. ”Selamat Merayakan Natal” itu tidak sepadan dengan kalimat syahadat. Yang setara dengannya adalah sakramen. Terlalu rendah maqamnya bagi “syahadat” bila disetarakan dengan ucapan selamat bernada toleransi itu.
Itulah mengapa dalam komunitas Penulis dan kawan-kawan yang beragam penganut agama dan lintas iman, kami kerap mengawali sapaan dengan kalimat seperti yang baru saja diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia tersebut.
Shalooom, Om Swastiastu, Namo Buddhaya, Salam Kebajikan, Rahayu Rahayu Rahayu, Assalamualaikum wa Rohmatullahi wa Barokaaaaaatuh!
Dalam konteks lain, ketika seseorang menutup sambutan, kerap mengakhiri dengan kalimat “fastabiqul khoirot” yang biasa dilakukan di kalangan Muhammadiyah. Namun seorang NU yang mengucapkannya tidak lantas bermakna bahwa dia pindah organisasi.
Atau sebaliknya, ketika seorang Muhammadiyah mengucapkan kalimat penutup dengan “wallahul muafik ila aqwamit thoriq” sebagaimana kebiasaan orang NU, tidak lantas dia otomatis menjadi nahdhiyyin.
Pun demikian ketika orang diluar Mathlaul Anwar mengucapkan “Hadanalllah wa iyyakum ila shirotim mustaqim” ketika menutup sambutannya, tidak lantas bermakna bahwa dia berbaiat masuk dan menjadi jamiyah Mathlaul Anwar.
Begitu pula dalam kadar yang lebih “rendah” maqam sakralitasnya, seperti di organisasi kemahasiswaan. “Wabillahi taufik wal hidayah” di kalangan HMI, atau pekikan “Merdeka” di kalangan anak-anak GMNI.
By the way, fatwa MUI merupakan hasil ijtihad. Yang dirumuskan oleh orang-orang dengan keilmuan yang mumpuni. Pastinya, melewati berbagai perhitungan, pertimbangan, serta dalil aqli dan naqli yang menjadi dasarnya.
Sebagai umat Islam di Indonesia -tadinya saya mau menyebut Islam Nusantara- eloknya kita mengikuti fatwa para ulama tersebut. Tidak lagi melafal macam-macam sapaan pembuka salam yang kadung dilakukan oleh sebagian dari kita yang beragama Islam. Cukup mengucapkan “Assalamualaikum wa Rohmatullahi wa Barokatuh”. Cuku begitu!
Tapi itu berlaku bagi yang merasa khawatir bila mengucapkan sapaan salam dalam agama lain otomatis menjadi murtad lalu merasa sudah log in ke dalam agama baru. Kalau Penulis meyakini bahwa “sapaan sebatas lisan yang tidak disertai pembenaran oleh hati” itu tidak akan merusak aqidah.
Fatwa MUI bisa jadi benar. Pendapat Penulis juga bisa jadi benar. Tidak ada “wasit” di dunia ini yang berhak menentukan mana yang benar. Karena kita sesama manusia hanyalah para penafsir dari kehendak Tuhan yang tertuang dalam teks kitab suci. Demikian pendapat Penulis. Bisa jadi salah.
Shalooom, Om Swastiastu, Namo Buddhaya, Salam Kebajikan, Rahayu Rahayu Rahayu, Wassalamualaikum wa Rohmatullahi wa Barokatuh…
***
Tangerang, Jumat, 31 Mei 2024
Penulis adalah Ketua Forum Diskusi dan Kajian Liberal Banten Society (Fordiska Libas)